BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa
ini setiap satuan pendidikan secara bertahap harus melaksanakan pengelolaan
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah no. 19 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. PP no.
19 ini memberikan arahan tentang delapan standar nasional pendidikan, yang
meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Peserta
didik yang berada pada sekolah dasar kelas satu, dua, dan tiga berada pada
rentangan usia dini. Pada usia tersebut seluruh aspek perkembangan kecerdasan
seperti IQ, EQ, dan SQ tumbuh dan berkembang sangat luar biasa. Pada umumnya
mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (berpikir holistik) dan memahami
hubungan antara konsep secara sederhana. Proses pembelajaran masih bergantung
kepada objek-objek konkret dan pengalaman yang dialami secara langsung.
Pelaksanaan
pembelajaran yang terpisah menyebabkan permasalahan pada kelas rendah (I-III)
antara lain adalah tingginya angka mengulang kelas dan putus sekolah. Angka
mengulang kelas dan angka putus sekolah peserta didik kelas I SD jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan kelas yang lain. Data tahun 1999/2000 memperlihatkan
bahwa angka mengulang kelas satu sebesar 11,6% sementara pada kelas dua 7,51%,
kelas tiga 6,13%, kelas empat 4,64%, kelas lima 3,1%, dan kelas enam 0,37%.
Pada tahun yang sama angka putus sekolah kelas satu sebesar 4,22%, masih jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas dua 0,83%, kelas tiga 2,27%, kelas
empat 2,71%, kelas lima 3,79%, dan kelas enam 1,78%.
Angka
nasional tersebut semakin memprihatinkan jika dilihat dari data di
masing-masing propinsi terutama yang hanya memiliki sedikit taman
kanak-kanak. Hal itu terjadi terutama di daerah terpencil. Pada saat ini hanya
sedikit peserta didik kelas satu sekolah dasar yang mengikuti pendidikan
prasekolah sebelumnya. Tahun 1999/2000 tercatat hanya 12,61% atau 1.583.467 peserta
didik usia 4-6 tahun yang masuk taman Kanak-kanak, dan kurang dari 5 % peserta
didik berada pada pendidikan prasekolah lain.
Permasalahan
tersebut menunjukkan bahwa kesiapan sekolah sebagian besar peserta didik kelas
awal sekolah dasar di Indonesia cukup rendah. Sementara itu, hasil penelitian
menunjukkan bahwa peserta didik yang telah masuk taman kanak-kanak memiliki
kesiapan bersekolah lebih baik dibandingkan dengan peserta didik yang tidak
mengikuti pendidikan taman kanak-kanak. Selain itu, perbedaan pendekatan,
model, dan prinsip-prinsip pembelajaran antara kelas awal sekolah dasar dengan
pendidikan pra-sekolah dapat juga menyebabkan peserta didik yang telah
mengikuti pendidikan pra-sekolah pun dapat saja mengulang kelas atau bahkan
putus sekolah.
Atas
dasar pemikiran di atas dan dalam rangka implementasi Standar Isi yang termuat
dalam Standar Nasional Pendidikan, maka pembelajaran terpadu sangat penting
untuk dilaksanakan di tingkat sekolah dasar, agar pembelajaran di kelas tidak
monoton, menyenangkan serta bermakna bagi kehidupan peserta didik.