Penerapan pendidikan multikultural di
Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan
multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem
yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi,
sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem
pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di
Indonesia dalam implementasi pendidikan multikultural dengan beragam problem di
masyarakat, yang menghambat penerapan pendidikan multikultural di dalam ranah
pendidikan. Problem-problem tersebut antara lain :
1. Keragaman identitas budaya daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus
potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan
menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun
kondisi neka-budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur
bagi konflik dan kecembururuan sosial. Masalah ini muncul jika tidak ada
komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada
berbagai kelompok budaya lain justru dapat menjadi konflik dan menghambat
proses pendidikan multikultural.
Dalam mengantisipasi hal ini, keragaman yang ada harus diakui sebagai
sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya diperlukan
suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk
ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui pendidikan
multikultural. Dengan adanya pendidikan multikultural itu diharapkan
masing-masing warga daerah tertentu bisa saling mengenal, memahami, menghayati
dan bisa saling berkomunikasi.
2. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
Dalam arena budaya, terjadinya
pergeseran kekuatan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap
pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang
terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh
kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal
masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal
dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu,
termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
3. Kurang kokohnya nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan
adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluraritas
negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan
ideologi negara berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang
semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru
banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila dengan ideologi Orde
Baru yang harus ditinggalkan. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek,
sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang perlu dikembangkan.
Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif,
persusif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah
menunjukkan peraran Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita
sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan
menghilangkan isu yag dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena
itu pendidikan multikultural dapat menjadi jalan untuk memperkokoh nasionalisme
dalam koridor keragaman bangsa yang majemuk ini.
4. Fanatisme sempit
Fanatisme dalam arti luas memang
diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap bahwa
kelompoknya yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi.
Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di
masyarakat. Gejala bonek (bondo nekat) di kalangan supporter sepak bola nampak
menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik,
tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok
lain secara membabi buta maka hal ini tidak sehat. Apalagi bila fanatisme ini
berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah)
maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. Di sini
pendidikan multikultural memiliki peran yang penting sebagai wahana peredam
fanatisme sempit. Karena di dalam pendidikan multikultural terkandung ajaran
untuk menghargai seseorang atau kelompok lain walaupun berbeda suku, agama,
rasa atau golongan.
5. Konflik kesatuan nasional dan multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, bangsa Indonesia pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerahan kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipasti terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Oleh karena itu pendidikan multikultural diharapkan dapat menjembatani berbagai perbedaan ini agar tidak terjadi benturan antara kesatuan nasional dan multikultural.
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, bangsa Indonesia pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerahan kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipasti terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Oleh karena itu pendidikan multikultural diharapkan dapat menjembatani berbagai perbedaan ini agar tidak terjadi benturan antara kesatuan nasional dan multikultural.
6. Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA
seperti Sampit beberapa tahun yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat
dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial
ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air
yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan
ekonomi. Jadi, adanya tekanan ekonomi memaksa
orang untuk bertindak destruktif. Berangkat dari hal ini, pendidikan
multikultural diharapkan dapat mendidik seseorang untuk berperilaku menurut
aturan yang berlaku. Selain itu, pendidikan multikultural diharapkan dapat
mengajarkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai di masyarakat karena di
masyarakat terdiri dari beragam lapisan, seperti si kaya dan si miskin atau
golongan borjuis dan proletar. Untuk itu pendidikan multikultural perlu
diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain, tidak peduli
dari lapisan mana seseorang itu berasal.
7. Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa
Di antara media
massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan
dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui
hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka
juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan
media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia.
Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir
media massa dan tidak mendapat hukuman yang setimpal baik dari segi hukum
maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak
kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu
mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan setiap
hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang
untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran.
Dan kasus selanjutnya ketika
penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam
bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan
dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi
pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan
petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot yaitu tangisan
bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung.
Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan
berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus
asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan
pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai
peristiwa.
1.
Mahalnya Biaya pendidikan
Masalah ini
yang kemudian banyak memunculkan fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak
Indonesia. Jangankan untuk sekolah Swasta, Untuk sekolah negeri pun, biaya
pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang diberikan oleh pemerintah pun
masih belum bisa mengatasi masalah mahalnya biaya pendidikan ini. Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada
realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha. Namun, pada tingkat implementasinya, ia
tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite
Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya
menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
2.
Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana
pendidikan
Sarana dan
prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan
prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses pendidikan tidak
dapat berlangsung secara efektif.
3.
Ketidak Jelasan Tujuan Pendidikan
Dalam
undang-undang nomor 4 tahun l950, telah di sebutkan secara jelas tentang tujuan
pendidikan dan pengajaran yang pada intinya, ialah untuk membentuk manusia
susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air berdasarkan pancasila dan
kebudayaan kebangsaan Indonesia dst, namun dalam kenyataan yang terjadi
terhadap tujuan pendidikan yang begitu ideal tersebut belum mampu
menghasilakn manusia-manusia sebagaimana yang dimaksud dalam tumpukan
kata-kata dalam rumusan tujuan pendidikan yang ada, bahkan terjadi
sebaliknya, yakni terjadi kemerosotan moral, kehidupan yang kurang demokratis,
terjadi kekacauan akibat konflik di masyarakat dan lain lain, hal ini merupakan
suatu indikasi bahwa tujuan pendidikan selama ini belum dikatakan berhasil,
mungkin disebabkan adanya ketidak jelasan atau kekaburan dalam memahami tujuan
pendidikan yang sebenarnya.
4.
Ketidak Serasian Kurikulum
Kebanyakan kurikulum yang dipergunakan di sekolah-sekolah
masih berisi tentang mata pelajaran-mata pelajaran yang beraneka ragam,
sejumlah jam-jam pelajaran dan nama-nama buku pegangan untuk setiap mata
pelajaran. Sehingga pengajaran yang berlangsung kebanyakan menanamkan
teori-teori pengetahuan melulu, akibatnya para lulusan yang di hasilkan kurang
siap pakai bahkan miskin ketrampilan dan tidak mempunyai kemampuan untuk
berproduktifitas di tengah-tengah masyarakatnya, karena muatan kurikulum yang
di terima di sekolah-sekolah memang tidak di persiapkan untuk menjadikan
lulusan dari peserta didik untuk dapat mandiri dimasyarakatnya.
5.
Ketiadaan Tenaga Pendidik Yang Tepat dan
Cakap.
Guru sebagai
pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu
komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara, misalnya
dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh
masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang. Kurangnya jumlah guru
ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak
pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga
sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.
6.
Adanya Pengukuran Yang Salah Ukur
Dalam masalah
pengukuran terhadap hasil belajar yang sering di sebut dengan istilah ujian
atau evaluasi, ternyata dalam prakteknya terjadi ketidak serasian antara
angka-angka yang di berikan kepada anak didik sering tidak obyektif, di mana
pencantuman angka-angka nilai yang begitu tinggi sama sekali tidak sepadan
dengan mutu riil pemegang angka-angka nilai itu. Ketika mereka di terjunkan ke
masyarakat, tidak mampu berbuat apa-apa yang setaraf dengan tingkat
pendidikannya. Jelasnya tanpa adanya pengukuran yang obyektif dapat di pastikan
tidak akan pernah terwujud tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Definisi
klasik prasangka yang dikemukakan oleh psikholog dari Universitas Harvard,
Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of
Prejudice pada tahun 1954 yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu
berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok
tertentu. Menurut
Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau
tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa
langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu.” Menurut
John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara
menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja
diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompok
tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang
atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri. Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan
atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah
bersikap curiga dan menentang.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotipe) dan konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif).Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti : generalisasi yang keliru pada perasaan, stereotipe antar etnik, kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “kami
2. Stareotipe
Stereotipe
adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang
bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian
sifat itu bisa sifat positif maupun negatif. Verdeber (1986) menyatakan bahwa
stereotipe adalah sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai
karakteristik, sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan
keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Allan G. Johnson (1986)
menegaskan bahwa stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk
menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang
lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini
menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain.
Ada kecenderungan untuk memberi “label” atau cap tertentu pada kelompok
tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang
negatif atau memandang rendah kelompok lain. Misalnya, seseorang dari suku
tertentu diberi “label”, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang
menyimpulkan iini karena dari pengalaman dia mengetahui bahwa mereka memang
banyak bicara. Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada
di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagai hal
yang berkaitan dengan suku, ras, agama dan antar golongan. Seringkali,
keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi dan
digeneralisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek
esensial dari stereotipe:
·
karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku,
gender dan etnis. Misalnya wanita Priangan itu suka bersolek.
·
bentuk atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah melekat pada semua
anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu keras.
·
penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu
yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:
- Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
- sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
- stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
- stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.
Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia “razza”. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Buffon, anthropolog Perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non-biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultural. Ada empat jenis ras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah. Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5. Diskriminasi
Jika
prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada
tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki
prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat,
kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang
saling menguatkan, selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika
prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah
terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang
membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok
subordinasinya.
Teori
kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa
menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat
ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman, Hitler
mengkambing hitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan
ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, Polandia yang digunakan
untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki
dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan
mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke Jerman
untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa
yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : Direktorat jenderal pendidikan tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Sosio history. 2013. pendidikan multikultural dan
problemnya. http://sosio-history.blogspot.com/2013/01/pendidikan-multikultural-dan-problemnya.html.
(diakses tanggal 30/09/2013
pukul
18.03 WIB)
Snb.or.id. 2013. Problema pendidikan multikultural di
Indonesia. http://snb.or.id/article/16/problema-pendidikan-multikultural-di-indonesia.html
(diakses pada 30/09/2013 pukul
18.30 )
Phierda. 2013. Problem pendidikan multikultural di
Indonesia. http://phierda.wordpress.com/2013/03/11/problema-pendidikan-multikultural-di-indonesia.html (Diakses pada 30/09/2013 pukul 18.30)
No comments:
Post a Comment