Sakoku adalah kebijakan penutupan negara yang dilakukan oleh pemerintah Jepang selama lebih dari 200 tahun sejak 1639 – 1854. Orang Jepang dilarang pergi ke luar negeri dan Orang dari negara lain yang pada umumnya adalah pedagang lintas negara dilokalisasi di sebuah pulau buatan manusia bernama Dejima yang terletak di Teluk Nagasaki, dan itu pun dengan pembatasan yang sangat ketat. Hanya Belanda, China, Korea dan Ryukyu (sekarang Okinawa) yang diizinkan melakukan hubungan dagang dengan Jepang.
Masalah agama yang banyak dianggap sebagai latar belakang penutupan negara sebenarnya bukanlah faktor utama penyebab terjadinya Sakoku. Kekhawatiran akan imperialisme Eropa juga merupakan faktor yang menentukan. Misi pelayaran Portugis adalah Gold, Gospel, Glory atau mencari kekayaan, penyebaran agama dan mencari kejayaan. Adalah suatu hal yang tak mungkin, ketika proses penyebaran Kristen di Jepang tersebut, tanpa diikuti tujuan – tujuan imperialisme karena dapat dikatakan ketiga misi ini adalah satu paket. Faktor inilah yang pertama dilihat oleh Toyotomi Hideyoshi sebagai sesuatu yang akan membahayakan, hingga dialah penguasa pertama di Jepang yang melarang penyebaran agama Kristen.
Dengan keadaan masyarakat Jepang pada saat itu tidaklah berlebihan jika Imperialisme menjadi momok. Masyarakat Jepang pada saat itu yang sangat terikat dalam sistem feodalisme, kurang mempunyai rasa memiliki akan tanah air Jepang. Stratifikasi sosial yang ketat membuat mereka berpikir bahwa hanya kelas teratas ( Samurai ) yang berhak merasa memiliki Jepang dan membelanya ketika bahaya terjadi. Nasionalisme mereka pun kurang teruji, karena sejak dulu belum pernah ada negara lain yang mengadakan kontak dengan Jepang. Bahkan sebagian besar kebudayaan Jepang berasal dari negara lain terutama China. Pendek kata, Jepang pada saat itu belum sadar akan kejepangannya. Karena hal itulah, dikhawatirkan jika imperialisme masuk ke Jepang, maka Jepang akan sangat cepat dikuasai.
Ketika pemerintah mengambil kebijakan untuk menutup negara maka pemerintah justru mempunyai kesempatan yang besar untuk memperbaiki pola pikir masyarakat. Dapat dikatakan bahwa masa Sakoku adalah masa Jepang menjadi kepompong. Dalam masa Sakoku masyarakat Jepang banyak belajar memahamai bangsanya sendiri dan bangsa lain. Negara yang tertutup menghasilkan kondisi yang kondusif untuk membangun nasionalisme masyarakat, bahkan pada saat itu materi tentang nasionalisme dimasukkan dalam sistem pendidikan (Kokugaku). Ajaran perbaikan dalam agama Shinto yang dijadikan sebagai sudut pandang pembelajaran nasionalisme, diharapkan dapat membangkitkan rasa kebudayaan pada saat krisis. Hal itu juga diharapkan dapat meletakkan dasar -dasar bagi reaksi konservatif dan ketahanan terhadap ancaman asing di bawah naungan kekaisaran.
Untuk mengimbangi keterasingan dari dunia luar, agar tidak tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan, masyarakat Jepang tetap mempelajari ilmu – ilmu sains, terutama yang berasal dari Belanda (rangaku). Materi ini juga dimasukkan dalam sistem pendidikan. Namun, kebijakan pemerintah yang hanya mengizinkan Belanda untuk tinggal di Dejima, tanpa masuk wilayah Jepang membuat masyarakat lebih objektif dalam menerima ilmu – ilmu dari Belanda tersebut. Pembelajaran terhadap sains Eropa dengan metode struktural seperti ini adalah upaya pemerintah agar masyarakat tidak terkontaminasi budaya Barat dan dapat tetap menjunjung tinggi tradisi Jepang.
Sakoku, kebijakan penutupan negara merupakan awal terbentuknya nasionalisme Jepang hingga pada masa Perang Dunia II Jepang, pernah dikenal sebagai negara penganut ultranasionalisme. Merujuk pendapat Arief Budiman seorang pengamat politik, bahwa nasionalisme adalah sesuatu hal yang sangat sulit digarap. Itulah yang terjadi pada Jepang di masa pra dan pasca Sakoku. Masyarakat Jepang yang dulunya awam akan nasionalisme berkembang menjadi masyarakat Jepang yang terlalu membanggakan negaranya hingga menjajah negara lain.
No comments:
Post a Comment